Gunakan Metode Depo WCP, DLHK3 Kurangi Sampah ke TPA Hingga 13 Ton

Banda Aceh – Pengelolaan sampah harus dilakukan dari sumbernya. Strategi ini telah dijalankan Dinas Lingkungan Hidup, Keindahan dan Kebersihan Kota (DLHK3) Banda Aceh.

Cara ini dilakukan dengan mendorong partisipasi warga dengan membangun kesadaran masyarakat untuk memilah dan menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle) melalui sistem Bank Sampah ala Waste Collecting Point (WCP).

Dengan metode depo ala Waste Collecting Point ini, pengelolaan sampah dimulai dari sumbernya, dimana dilakukan secara mandiri oleh kelompok warga gampong setempat. Mereka memilah dan memilih sampah sesuai jenisnya. Sampah yang jenisnya bisa di daur ulang di setor ke bank sampah WCP,  yang lainnya akan diangkut petugas DLHK3 ke TPA.

Kadis DLHK3 Banda Aceh, Hamdani SH, Selasa (12/5/2020) menyampaikan metode Bank Sampah ala Depo WCP ini dinilai sangat tepat diterapkan di Banda Aceh sebagai cara baru untuk pengurangan sampah, karena metode yang diterapkan sangat berbeda dengan bank sampah yang diterapkan di Indonesia pada umumnya.

Katanya, terdapat beberapa perbedaan sistem WCP ini dengan metode bank sampah biasa, yakni dari sisi penyediaan sarana prasarana, pembinaan masyarakat dan kemudahan pengelolaannya.

Bank Sampah ala Depo WCP, bangunannya tidak memerlukan lokasi yang luas, hanya berukuran 2 meter x 1,5 meter saja dengan total luasnya hanya 3 meter per segi. Bank Sampah ala Depo WCP inipun bisa ditempatkan di atas saluran atau tanah-tanah sisa perumahan dan bisa berdekatan dengan warga. Jaraknya juga ditetapkan tidak boleh jauh dari radius 500 meter untuk memudahkan warga menjangkaunya.

Sementara bangunan bank sampah pada umumnya memiliki luas minimal 400 meter per segi, sehingga memerlukan lokasi tanah yang luas. Dari sisi jarak juga menjadi kendala. Paling dekat bank sampah yang satu dengan lainnya adalah di gampong sebelah. Artinya hanya ada 1 bank sampah di setiap gampong. Tentunya tidak mudah dijangkau warga atau kelompok pemilah sampah yang mayoritas terdiri dari kalangan ibu-ibu.

“Metode ini digagas sejak 2015. Berawal dari kerjasama Pemko Banda Aceh dengan Jepang, yakni lewat Program CoMU Project. Kemudian lahirlah metode Bank Sampah ala Depo Waste Collecting Point (WCP) yang kemudian dalam perjalananya saat ini sudah efektif dijalankan di beberapa gampong (Desa) di Banda Aceh,” jelas Hamdani.

Lanjut Hamdani, untuk mendukung kelancaran program ini, sejak tahun 2018 hingga saat ini, DLHK3 telah mengalokasikan sebesar Rp722 juta yang diperuntukkan untuk membangun sarana dan prasarana depo WCP, insentif fasilitator, dan kegiatan pembinaan serta kegiatan sosialisasi kepada masyarakat.

Lanjutnya, dengan program ini, bank sampah terus bertambah yang tersebar di delapan gampong. Dari sebelumnya hanya memiliki 4 sampah unit, kini dengan sistem WCP sudah bertambah sebanyak 54 unit. Total di seluruh Banda Aceh kini sudah ada 58 bank sampah unit.

“Dari delapan gampong tersebut, sudah ada 358 rumah tangga yang menerima manfaat dari program ini. Jauh meningkat dibanding sebelumnya hanya 127 rumah tangga. Inisiasi ini juga telah direplikasikan ke sekolah-sekolah dan perkantoran. Dan hasilnya, pada tahun 2019 lalu terjadi pengurangan sampah ke TPA melalui program ini hingga 13,87 Ton,” ungkapnya.

Berdayakan Kelompok Masyarakat Gampong

Metode Bank Sampah Ala Depo WCP dijalankan dengan mendorong partisipasi warga. Pembinaan terhadap masyarakat terus dilakukan DLHK3 dengan memperbanyak sosialisasi. Tujuannya agar kesadaran warga akan kebersihan lingkungannya semakin meningkat.

Dengan sistem WCP ini, keanggotaan dibangun secara terstruktur dan berkelompok. Satu Depo WCP terdiri dari 20-30 rumah tangga yang berdekatan (ketetanggaan). Batas maksimal 30 rumah tangga untuk lebih mudah dari sisi keterjangkauan.

Terbentuknya keanggotaan yang berkelompok dan bersifat ketetanggaan ini, secara langsung juga terbentuk kontrol sosial dari warga sekitarnya. Misalnya, ketika ada satu rumah tangga tidak menyetor sampah di WCP, maka akan terasa malu dengan tetangga lainnya.

Kelebihan lain dari sistem Bank Sampah ala depo WCP adalah tidak memerlukan petugas khusus selalu berada di tempat. Yang dibutuhkan hanya saat penimbangan saja, yakni sekitar kurang lebih satu jam pendampingan oleh Ketua WCP seminggu sekali.

Selain itu, sistem ini juga tidak perlu modal, hanya memerlukan partisipasi dari ketua dan anggota karena fasilitas depo bank sampah dan pengangkutan disediakan oleh DLHK3 dan menerima hasil dari setiap penjualan sampah per tiga bulan sekali sesuai pencatatan di buku rekening bank sampah oleh Ketua WCP.

Kak Cut, Ketua WCP Kopelma Darussalam yang memiliki anggota sebanyak 20 orang menyampaikan, anggotanya selalu menyetor sampah setiap Selasa pagi.

Sampah yang disetor sesuai dengan arahan DLHK3, seperti sampah plastik yakni botol air mineral, kertas, koran dan lainya sampah lainnya yang bisa didaur ulang. Sementara sampah residu akan dikumpulkan untuk diangkut petugas.

“Setiap anggota setor sampahnya ke WCP setiap Selasa pagi. Per tiga bulan baru dilakukan pembayaran oleh DLHK3,” ujarnya.

Sementara itu, Hayatun Nufus, Cleaning Leader yang membawahi WCP di Gampong Alue Deah Teungoh mengatakan di gampong tersebut terdapat 10 Bank Sampah ala Depo WCP, namun yang aktif hanya 9 WCP.

Katanya, seluruh sampah yang disetor anggota ditimbang setiap minggu, tapi pembayaran dikakukan setiap tiga bulan sekali.

Ditanya berapa penghasilan dari sampah yang dihasilkan WCP tersebut, ia mengatakan bisa sampai Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu.

“Hasil penjualan itu biasanya para anggota kelompok duduk berdiskusi, apakah uang tersebut dibagi atau digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya,” ujar Nufus.[]

Visits: 71